Rabu, 22 November 2017

Cerpen Coretan Ima

Assalamu'alaikum ya akhi ya ukhti,
Kali ini aku mau share tulisanku yang pernah aku kirimkan ke media, namun nggak ada info selanjutnya. Mungkin belum rezekiku ya.. hehe. Nah aku mau share aja dibogku ini. Siapa tahu bisa bermanfaat. Yaitu Cerpen Coretan Ima.



                                                        Coretan Ima
Ima dilema antara cita-cita dan cinta. Merencanakan masa depan memang diperbolehkan. Namun ketika ada yang mencoba menghapus sekata dua kata dari rencana tersebut juga tiada yang bisa melarang. Angin sore yang melambai-lambai seakan membuat Ima ingin menghampiri selembar coretannya yang ia tulis empat tahun yang lalu. Ya. Mulai lulus dari SMP yang berada tak jauh dari desanya, Ima harus berkelana ke kota manis Pangkalan bun yang diklaim sebagai kota pintu gerbang bagian baratnya Kalteng. Namun bagi sebagian banyak perantau seperti dirinya yang berasal dari Jawa, Pangkalan Bun merupakan tempat yang strategis untuk mencari pekerjaan.
            Jika tidak karena keluarga yang terdesak masalah ekonomi, Ima pasti masih bisa melanjutkan sekolah seperti teman-teman yang lain. Dan masih ada banyak waktu untuk menghindar dari kata pernikahan. Benar ternyata apa kata orang di kampungnya. Bahwasanya wanita yang pergi ke Kalimantan untuk bekerja, takkan lama saat pulang pasti membawa jodoh. Pasti nikah. Saat itu Ima sangat benci  disuruh pergi ke Kalimantan. Bukan hanya supaya terhindar dari nikah cepat tetapi juga bisa melanjutkan belajar.
“Yang ini berapa mbak? Mbak, mbak”
Suara itu mengejutkan lamunan Ima. Ternyata pelaris  sudah datang sejak tadi untuk memilih-milih daster batik yang tergantung tak jauh dari tempat duduk Ima.
“Ini tujuh puluh lima ribu mbak” jawab Ima setelah melihat label kecil yang menempel di daster tersebut.
“Bisa kurang, tiga puluh ribu saja ya”
“Tidak bisa mbak, itu belum dapat modalnya. Tujuh puluh ribu itu pasnya mbak.”
“Kok mahal?” pelaris itu masih tak mau mengalah. Namun setelah dipegangnya beberapakali, akhirnya setuju juga dengan harga itu.
Ima ikut bekerja di toko baju bulek Indariyah. Bulek merupakan anak dari adik neneknya Ima. Tidak hanya Ima, Naya keponakan bulek juga ikut bekerja dengan Ima.Naya setahun lebih muda dari Ima. Mereka tinggal bersama. Walaupun ikut dengan orang yang masih keluarga sendiri, akan tetapi bukan berarti bisa seenak hati. Oleh karena Bulek adalah orang yang disiplin, maka setiap jadwal harus tepat sesuai waktu. Dari mulai bangun tidur hingga akan tidur lagi.
            Sebelum ke toko yang berada di dalam salah satu pasar tradisional Pangkalan bun, Ima dan Naya berbagi tugas. Ada yang membersihkan bagian dalam rumah. Ada yang membersihkan seisi dapur. Sedangkan untuk hal mengisi perut Bulek yang memegang peran. Setelah sarapan dan membersihkan badan Ima dan Naya diantar Paklek(suami bulek) ke pasar untuk membuka toko, mulai bekerja. Sifat paklek seratus delapan puluh derajat berbanding terbalik dengan bulek yang sangat serius. Paklek lebih santai dalam mengerjakan sesuatu. Bukan berarti lelet tapi tak pernah sekalipun beliau menggertak Ima dan Naya dalam mengerjakan aktivitasnya. Setidaknya itu membuat Ima agak tenang.
            Baru sekitar lima menit Ima membuka toko, tiba-tiba terdengar suara yang menyapa.
“Selamat pagi dik Ima.. Naya..”
Tak lain dan tak bukan suara itu milik lelaki tampan yang berambut agak kriting lima centi, tinggi badannya takdiragukan untuk seukuran badan Ima. Karena jika berdiri berdua kepala Ima masih dibawah pundak Abib. Ya lelaki itulah yang baru seminggu ini berstatus sebagai tunangan Ima.
“Pagi kak Abib, kok pagi sekali sudah kemari?”
Naya menjawab sapaan Abib yang lalu dilanjutkan bertanya. Sedangkan Ima hanya membalas senyum sambil menatarapikan pakaian-pakaian yang mengelilinginya.
“Iya karena ingin membantu kalian saja”
“Membantu kalian atau sang kekasih?”
Naya balas meledek Abib yang sedang memandangg ke arah Ima. Kemudian Abib mendekati Ima yang berada di pojok area toko.
“Kau kenapa dik, tak suka ya melihat Mas kesini pagi sekali”
“Bukan taksuka mas, tapi aku hanya ingin segera membereskan barang-barang ini dulu.”
            Abib takmembalas perkataan Ima karena Ima bersegera menjauh darinya untuk mengambil barang dan meletakkan pada tempatnya. Hingga saat Abib pergi Ima tak menyadarinya.
            Usai dari toko, Ima dan Naya tak langsung mengistirahatkan tubuhnya. Mereka harus mandi dan mencuci pakaian kotor milik mereka juga milik bulek dan paklek. Mata dan seluruh tubuh yang terasa sangat lelah mereka paksakan tetap merendam seluruh pakaian kotor kedalam bak besar yang selanjutnya akan dicuci oleh kedua tangan. Ya. Untuk membersihkan pakaian kotor masih menggunakan cara manual. Padahal jika menggunakan mesin cuci itu akan lebih mudah dan cepat. Namun apa daya yang menjadi majikan tak mau merelakan uang hanya untuk mesin yang jikalau tanpa tak masalah. Karena sudah ada dua karyawan. Uang gaji Ima saja yang sudah empat tahun mengabdikan diri, kini hanya naik seratus ribu menjadi enam ratus ribu. Memang, pekerjaan di toko hanya sekedar duduk menunggu para pembeli datang dan melayani. Akan tetapi jika dipikirkan hal itu sangat membosankan bagi Ima. Menghabiskan waktu berjam-jam dengan pakaian penuh sesak kemudian pulang bersih-bersih rumah. Tanpa bisa merasakan udara panas ataupun dingin dikehidupan luar sana.
“Akhirnya selesai juga”
Suara Naya membangunkan lamunan Ima.
“Sudah selesai Nay, kok aku tak berasa mencuci ya”
“Kau itu mencuci tapi pikirannya kemana-mana. Makanya tak terasa. Sudahlah, ayo kita mandi lalu tidur”
Tanpa membuang waktu, Ima dan Naya membersihkan tubuh mereka dan langsung merebahkannya diatas kasur. Naya seketika sudah terlelap dalam tidur, namun Ima masih belum dapat tidur walau lelah telah menggelayuti tubuhnya. Mata Ima tertuju pada selembar kertas yang tergeletak diatas meja. Ia kembali duduk dan mengambil kertas itu. Ada banyak coretan disana. Satu persatu Ima baca. Kalimat satu ia coret menggunakan pena yang berada tak jauh darinya. Kalimat itu tentang keinginannya minimal lulus SMA atau sederajat. Kalimat ke-dua ia biarkan. Yang bertulis tentang pengusaha bukan pegawai. Lalu sampai pada kalimat ke-tiga.  Namun belum sempat ia baca, terdengar bunyi ponsel miliknya. Ia letakkan kertas itu dan meraih ponsel yang ada didalam tas warna abu-abu tergantung di pintu kamar.
“Maaf ya dik, kalau tadi pagi Mas membuat adik marah. Selamat beristirahat..”
Isi pesan dari Abib. Ima tak membalas pesannya. Ia hanya terdiam sebentar lalu terlelap tidur disamping Naya.

***
Pagi harinya, Ima kesiangan. Naya sudah beberapa kali membangunkannya. Tapi Ima tak bangun juga. Akhirnya Ima sangat tergesa-gesa setelah bangun. Mengerjakan tugas sebelum ke pasar ia bereskan seperti kilat. Tak lebih dari sepuluh menit. Membersihkan dapur yang cucian peralatan masak hanya dua piring dan dua gelas. Beruntung.
Sampai di pasar, Ima merasa ada sesuatu yang tertinggal. Seperti suatu hal yang sangat penting dan ingin ia bawa.
“Ada apa kak Ima, apa ada yang tertinggal?”
Tiga tahun bersama, Naya sudah hafal dengan gerak-gerik Ima. Jika ia sedih, senang, bingung dan lain sebagainya.
“Tidak Nay, tidak ada”
“Ya sudah kak, aku kira ada sesuatu yang tertinggal. Oh ya kak, aku tadi dapat pesan dari kak Abib suruh bertanya, kenapa kak Ima tak menjawab pesan darinya. Tak seperti biasanya kalau kak Ima tak menjawab pesan dari kak Abib kecuali tak ada pulsa. Sepertinya baru kemarin kita beli. Apa sudah habis kak?”
“Tidak, tadi malam aku sangat mengantuk dan tertidur. Tak sempat membalas.”
Setelah berkata mengantuk dan tertidur, Ima teringat ketika ia sedang menulis target  masa depan pada malam sebelum esok berangkat ke Pangkalan bun. Saat itu Ibu menghampiri dirinya dan berkata ada pesan sangat penting untuknya yang ditulis pada kertas itu. Oleh karena mata yang mengantuk, ima belum sempat membaca pesan itu. Ibunya juga menyangkal bahwa ada pesan penting untuk Ima tiap kali ditanyakan. Tapi Ima yakin ada sesuatu yang disembunyikan darinya. Selembar kertas itu ikut dalam koper saat pertama kali ke Pangkalan bun. Sedangkan kertas itu sudah tiada setelah Ima baru menyadarinya.
Sampai rumah, Ima segera masuk kamar dan mencari dimana keberadaan kertas itu. Namun tak ia dapatkan. Lalu Bulek menghampiri dirinya dan memberitahukan bahwa saat membersihkan koper, ada selembar kertas yang bertuliskan nama Ima.
“Kemarin bulek letakkan disini” sambil menunjuk meja Ima.
“Iya bulek sudah Ima ambil, terima kasih”
Bulek kembali ke kamarnya sedangkan Ima segera menyusul Naya di kamar mandi.

            ***
            Keesokan harinya cuaca di Pangkalan bun terasa sangat panas membuat tubuh cepat gerah. Sepertinya akan turun hujan. Entah kenapa Ima justru merasa tubuhnya dingin. Dan benar, tepat pukul satu siang, hujan turun dengan disertai angin lebat. Ima dan Naya sibuk menyelamatkan pakaian-pakaian yang terletak di bagian paling depan. Dengan dua terpal yang mereka terapkan mampu menahan air hujan masuk ke dalam toko. Ima dan Naya menyenderkan tubuhnya ke etalase baju. Lalu saat dilihatnya ponsel Ima, ada tujuh panggilan masuk tak terjawab. Yang tak lain dan tak bukan adalah Abib tunangannya. Ima merasa khawatir akan sesuatu terjadi dengannya. Apalagi sudah beberapa kali ia tak menjawab pesan darinya. Ima segera menelepon Abib. Lalu terdengar bunyi ponsel yang nyaring dan tak asing di telinga Ima. Ponsel Abib. Ya. Abib datang menemui Ima. Dilepasnya jas hujan warna biru miliknya kemudian mendekati Ima sedangkan Naya agak menjauh. Ima langsung berdiri.
“Kau kesini? Ada apa mas? Diluar hujan lebat, apa yang kau lakukan? Kalau kau sakit bagaimana?” Keluar kata-kata Ima yang menunjukkan kekhawatirannya.
“Iya dik, aku hanya ingin melihat kau baik-baik saja. Dan ..”
Tangan Abib memasukkan kertas itu kedalam saku celana. Ima melihatnya.
“Dan apa itu Mas?”
“Bukan apa-apa dik, yang jelas aku ingin mengatakan kalau aku sangat mencintai adik. Termasuk kekurangan adik. Mas akan tetap mencintaimu dik, jangan khawatir akan masalah itu. Mas mohon”
Ima merasa ada sesuatu yang aneh. Dan itu ada pada kertas dalam saku celana Abib.
“Tolong katakan kepadaku mas, masalah apa itu? Apakah kertas itu adalah masalahnya. Berikan kepadaku mas. tidak akan terjadi sesuatu. Aku mohon”
Ima merasa ada hal buruk yang tertulis pada kertas itu. Namun Abib masih menghalau Ima melihat kertas itu.
“Apakah kertas itu milikku? Tapi kenapa bisa ada pada Mas dan kenapa aku tak boleh melihatnya Mas?”
Ima semakin penasaran dengan apa yang tertulis pada kertas itu. Ima menarik tangan Abib dari saku celana dan ia rebut kertas itu. Setelah dibukanya, Mata Ima langsung tertuju pada coretan Untuk Ima ‘maafkan Ibu nak, tapi Ibu harus mengatakan satu kebenaran bahwa Kau akan sulit mendapatkan keturunan. Kau menderita penyakit Fibroid rahim*.’
            Seketika Ima langsung terjatuh lemas. Abib menangkapnya. Naya juga mendekat.
“Maaf kak Ima, Naya yang telah memberikan kertas itu pada kak Abib. Karena kak Abib sangat mengkhawatirkan kak Ima”
“Tak apa Naya, hanya saja aku merasa lega. Apa yang sangat ingin aku ketahui selama ini telah kuketahui. Walau coretan itu telah menyakitiku.”
Catatan : *Fibroid rahim adalah salah satu penyakit pada rahim yang menyebabkan wanita sulit untuk hamil namun tak ada hubungannya dengan peningkatan resiko sel kanker rahim, bahkan tidak akan pernah berkembang layaknya kanker.



Gimana? Hehe, kalau ada yang mau ngasih saran atau kritikan tentang cerpenku ini. Sila komen ya...
Salam Syammir!

0 komentar:

Posting Komentar