Assalamu'alaikum ya akhi ya ukhti,
Kali ini aku mau share tulisanku yang pernah aku kirimkan ke media, namun nggak ada info selanjutnya. Mungkin belum rezekiku ya.. hehe. Nah aku mau share aja dibogku ini. Siapa tahu bisa bermanfaat. Yaitu Cerpen Coretan Ima.
Gimana? Hehe, kalau ada yang mau ngasih saran atau kritikan tentang cerpenku ini. Sila komen ya...
Salam Syammir!
Kali ini aku mau share tulisanku yang pernah aku kirimkan ke media, namun nggak ada info selanjutnya. Mungkin belum rezekiku ya.. hehe. Nah aku mau share aja dibogku ini. Siapa tahu bisa bermanfaat. Yaitu Cerpen Coretan Ima.
Coretan Ima
Ima dilema antara cita-cita
dan cinta. Merencanakan masa depan memang diperbolehkan. Namun ketika ada yang
mencoba menghapus sekata dua kata dari rencana tersebut juga tiada yang bisa
melarang. Angin sore yang melambai-lambai seakan membuat Ima ingin menghampiri
selembar coretannya yang ia tulis empat tahun yang lalu. Ya. Mulai lulus dari
SMP yang berada tak jauh dari desanya, Ima harus berkelana ke kota manis
Pangkalan bun yang diklaim sebagai kota pintu gerbang bagian baratnya Kalteng.
Namun bagi sebagian banyak perantau seperti dirinya yang berasal dari Jawa,
Pangkalan Bun merupakan tempat yang strategis untuk mencari pekerjaan.
Jika
tidak karena keluarga yang terdesak masalah ekonomi, Ima pasti masih bisa
melanjutkan sekolah seperti teman-teman yang lain. Dan masih ada banyak waktu
untuk menghindar dari kata pernikahan. Benar ternyata apa kata orang di
kampungnya. Bahwasanya wanita yang pergi ke Kalimantan untuk bekerja, takkan
lama saat pulang pasti membawa jodoh. Pasti nikah. Saat itu Ima sangat benci disuruh pergi ke Kalimantan. Bukan hanya
supaya terhindar dari nikah cepat tetapi juga bisa melanjutkan belajar.
“Yang ini berapa mbak? Mbak, mbak”
Suara itu mengejutkan lamunan Ima. Ternyata pelaris sudah datang sejak tadi untuk memilih-milih
daster batik yang tergantung tak jauh dari tempat duduk Ima.
“Ini tujuh puluh lima ribu mbak” jawab Ima
setelah melihat label kecil yang menempel di daster tersebut.
“Bisa kurang, tiga puluh ribu saja ya”
“Tidak bisa mbak, itu belum dapat modalnya.
Tujuh puluh ribu itu pasnya mbak.”
“Kok mahal?” pelaris itu masih tak mau
mengalah. Namun setelah dipegangnya beberapakali, akhirnya setuju juga dengan
harga itu.
Ima ikut bekerja di toko baju bulek
Indariyah. Bulek merupakan anak dari adik neneknya Ima. Tidak hanya Ima, Naya
keponakan bulek juga ikut bekerja dengan Ima.Naya setahun lebih muda dari Ima.
Mereka tinggal bersama. Walaupun ikut dengan orang yang masih keluarga sendiri,
akan tetapi bukan berarti bisa seenak hati. Oleh karena Bulek adalah orang yang
disiplin, maka setiap jadwal harus tepat sesuai waktu. Dari mulai bangun tidur
hingga akan tidur lagi.
Sebelum
ke toko yang berada di dalam salah satu pasar tradisional Pangkalan bun, Ima
dan Naya berbagi tugas. Ada yang membersihkan bagian dalam rumah. Ada yang
membersihkan seisi dapur. Sedangkan untuk hal mengisi perut Bulek yang memegang
peran. Setelah sarapan dan membersihkan badan Ima dan Naya diantar Paklek(suami
bulek) ke pasar untuk membuka toko, mulai bekerja. Sifat paklek seratus delapan
puluh derajat berbanding terbalik dengan bulek yang sangat serius. Paklek lebih
santai dalam mengerjakan sesuatu. Bukan berarti lelet tapi tak pernah sekalipun beliau menggertak Ima dan Naya
dalam mengerjakan aktivitasnya. Setidaknya itu membuat Ima agak tenang.
Baru
sekitar lima menit Ima membuka toko, tiba-tiba terdengar suara yang menyapa.
“Selamat pagi dik Ima.. Naya..”
Tak lain dan tak bukan suara itu milik lelaki
tampan yang berambut agak kriting lima centi, tinggi badannya takdiragukan
untuk seukuran badan Ima. Karena jika berdiri berdua kepala Ima masih dibawah
pundak Abib. Ya lelaki itulah yang baru seminggu ini berstatus sebagai tunangan
Ima.
“Pagi kak Abib, kok pagi sekali sudah
kemari?”
Naya menjawab sapaan Abib yang lalu
dilanjutkan bertanya. Sedangkan Ima hanya membalas senyum sambil menatarapikan
pakaian-pakaian yang mengelilinginya.
“Iya karena ingin membantu kalian saja”
“Membantu kalian atau sang kekasih?”
Naya balas meledek Abib yang sedang
memandangg ke arah Ima. Kemudian Abib mendekati Ima yang berada di pojok area
toko.
“Kau kenapa dik, tak suka ya melihat Mas
kesini pagi sekali”
“Bukan taksuka mas, tapi aku hanya ingin segera
membereskan barang-barang ini dulu.”
Abib
takmembalas perkataan Ima karena Ima bersegera menjauh darinya untuk mengambil
barang dan meletakkan pada tempatnya. Hingga saat Abib pergi Ima tak
menyadarinya.
Usai
dari toko, Ima dan Naya tak langsung mengistirahatkan tubuhnya. Mereka harus
mandi dan mencuci pakaian kotor milik mereka juga milik bulek dan paklek. Mata
dan seluruh tubuh yang terasa sangat lelah mereka paksakan tetap merendam seluruh
pakaian kotor kedalam bak besar yang selanjutnya akan dicuci oleh kedua tangan.
Ya. Untuk membersihkan pakaian kotor masih menggunakan cara manual. Padahal
jika menggunakan mesin cuci itu akan lebih mudah dan cepat. Namun apa daya yang
menjadi majikan tak mau merelakan uang hanya untuk mesin yang jikalau tanpa tak
masalah. Karena sudah ada dua karyawan. Uang gaji Ima saja yang sudah empat
tahun mengabdikan diri, kini hanya naik seratus ribu menjadi enam ratus ribu.
Memang, pekerjaan di toko hanya sekedar duduk menunggu para pembeli datang dan
melayani. Akan tetapi jika dipikirkan hal itu sangat membosankan bagi Ima.
Menghabiskan waktu berjam-jam dengan pakaian penuh sesak kemudian pulang
bersih-bersih rumah. Tanpa bisa merasakan udara panas ataupun dingin
dikehidupan luar sana.
“Akhirnya selesai juga”
Suara Naya membangunkan
lamunan Ima.
“Sudah selesai Nay, kok aku tak berasa
mencuci ya”
“Kau itu mencuci tapi pikirannya kemana-mana.
Makanya tak terasa. Sudahlah, ayo kita mandi lalu tidur”
Tanpa membuang waktu, Ima
dan Naya membersihkan tubuh mereka dan langsung merebahkannya diatas kasur. Naya
seketika sudah terlelap dalam tidur, namun Ima masih belum dapat tidur walau
lelah telah menggelayuti tubuhnya. Mata Ima tertuju pada selembar kertas yang
tergeletak diatas meja. Ia kembali duduk dan mengambil kertas itu. Ada banyak
coretan disana. Satu persatu Ima baca. Kalimat satu ia coret menggunakan pena
yang berada tak jauh darinya. Kalimat itu tentang keinginannya minimal lulus
SMA atau sederajat. Kalimat ke-dua ia biarkan. Yang bertulis tentang pengusaha
bukan pegawai. Lalu sampai pada kalimat ke-tiga. Namun belum sempat ia baca, terdengar bunyi
ponsel miliknya. Ia letakkan kertas itu dan meraih ponsel yang ada didalam tas
warna abu-abu tergantung di pintu kamar.
“Maaf ya dik, kalau tadi pagi Mas membuat
adik marah. Selamat beristirahat..”
Isi pesan dari Abib. Ima tak membalas
pesannya. Ia hanya terdiam sebentar lalu terlelap tidur disamping Naya.
***
Pagi harinya, Ima kesiangan.
Naya sudah beberapa kali membangunkannya. Tapi Ima tak bangun juga. Akhirnya
Ima sangat tergesa-gesa setelah bangun. Mengerjakan tugas sebelum ke pasar ia
bereskan seperti kilat. Tak lebih dari sepuluh menit. Membersihkan dapur yang
cucian peralatan masak hanya dua piring dan dua gelas. Beruntung.
Sampai di pasar, Ima merasa
ada sesuatu yang tertinggal. Seperti suatu hal yang sangat penting dan ingin ia
bawa.
“Ada apa kak Ima, apa ada yang tertinggal?”
Tiga tahun bersama, Naya sudah hafal dengan
gerak-gerik Ima. Jika ia sedih, senang, bingung dan lain sebagainya.
“Tidak Nay, tidak ada”
“Ya sudah kak, aku kira ada sesuatu yang
tertinggal. Oh ya kak, aku tadi dapat pesan dari kak Abib suruh bertanya,
kenapa kak Ima tak menjawab pesan darinya. Tak seperti biasanya kalau kak Ima
tak menjawab pesan dari kak Abib kecuali tak ada pulsa. Sepertinya baru kemarin
kita beli. Apa sudah habis kak?”
“Tidak, tadi malam aku sangat mengantuk dan
tertidur. Tak sempat membalas.”
Setelah berkata mengantuk dan tertidur, Ima
teringat ketika ia sedang menulis target masa depan pada malam sebelum esok berangkat ke
Pangkalan bun. Saat itu Ibu menghampiri dirinya dan berkata ada pesan sangat
penting untuknya yang ditulis pada kertas itu. Oleh karena mata yang mengantuk,
ima belum sempat membaca pesan itu. Ibunya juga menyangkal bahwa ada pesan
penting untuk Ima tiap kali ditanyakan. Tapi Ima yakin ada sesuatu yang
disembunyikan darinya. Selembar kertas itu ikut dalam koper saat pertama kali
ke Pangkalan bun. Sedangkan kertas itu sudah tiada setelah Ima baru
menyadarinya.
Sampai rumah, Ima segera
masuk kamar dan mencari dimana keberadaan kertas itu. Namun tak ia dapatkan.
Lalu Bulek menghampiri dirinya dan memberitahukan bahwa saat membersihkan
koper, ada selembar kertas yang bertuliskan nama Ima.
“Kemarin bulek letakkan disini” sambil
menunjuk meja Ima.
“Iya bulek sudah Ima ambil, terima kasih”
Bulek kembali ke kamarnya sedangkan Ima
segera menyusul Naya di kamar mandi.
***
Keesokan
harinya cuaca di Pangkalan bun terasa sangat panas membuat tubuh cepat gerah.
Sepertinya akan turun hujan. Entah kenapa Ima justru merasa tubuhnya dingin.
Dan benar, tepat pukul satu siang, hujan turun dengan disertai angin lebat. Ima
dan Naya sibuk menyelamatkan pakaian-pakaian yang terletak di bagian paling
depan. Dengan dua terpal yang mereka terapkan mampu menahan air hujan masuk ke
dalam toko. Ima dan Naya menyenderkan tubuhnya ke etalase baju. Lalu saat
dilihatnya ponsel Ima, ada tujuh panggilan masuk tak terjawab. Yang tak lain
dan tak bukan adalah Abib tunangannya. Ima merasa khawatir akan sesuatu terjadi
dengannya. Apalagi sudah beberapa kali ia tak menjawab pesan darinya. Ima
segera menelepon Abib. Lalu terdengar bunyi ponsel yang nyaring dan tak asing
di telinga Ima. Ponsel Abib. Ya. Abib datang menemui Ima. Dilepasnya jas hujan
warna biru miliknya kemudian mendekati Ima sedangkan Naya agak menjauh. Ima
langsung berdiri.
“Kau kesini? Ada apa mas? Diluar hujan lebat,
apa yang kau lakukan? Kalau kau sakit bagaimana?” Keluar kata-kata Ima yang
menunjukkan kekhawatirannya.
“Iya dik, aku hanya ingin melihat kau
baik-baik saja. Dan ..”
Tangan Abib memasukkan kertas itu kedalam
saku celana. Ima melihatnya.
“Dan apa itu Mas?”
“Bukan apa-apa dik, yang jelas aku ingin
mengatakan kalau aku sangat mencintai adik. Termasuk kekurangan adik. Mas akan
tetap mencintaimu dik, jangan khawatir akan masalah itu. Mas mohon”
Ima merasa ada sesuatu yang aneh. Dan itu ada
pada kertas dalam saku celana Abib.
“Tolong katakan kepadaku mas, masalah apa
itu? Apakah kertas itu adalah masalahnya. Berikan kepadaku mas. tidak akan
terjadi sesuatu. Aku mohon”
Ima merasa ada hal buruk yang tertulis pada
kertas itu. Namun Abib masih menghalau Ima melihat kertas itu.
“Apakah kertas itu milikku? Tapi kenapa bisa
ada pada Mas dan kenapa aku tak boleh melihatnya Mas?”
Ima semakin penasaran dengan apa yang
tertulis pada kertas itu. Ima menarik tangan Abib dari saku celana dan ia rebut
kertas itu. Setelah dibukanya, Mata Ima langsung tertuju pada coretan Untuk Ima
‘maafkan Ibu nak, tapi Ibu harus mengatakan satu kebenaran bahwa Kau akan sulit
mendapatkan keturunan. Kau menderita penyakit Fibroid rahim*.’
Seketika
Ima langsung terjatuh lemas. Abib menangkapnya. Naya juga mendekat.
“Maaf kak Ima, Naya yang telah memberikan
kertas itu pada kak Abib. Karena kak Abib sangat mengkhawatirkan kak Ima”
“Tak apa Naya, hanya saja aku merasa lega. Apa yang
sangat ingin aku ketahui selama ini telah kuketahui. Walau coretan itu telah
menyakitiku.”
Catatan : *Fibroid rahim adalah salah satu
penyakit pada rahim yang menyebabkan wanita sulit untuk hamil namun tak ada
hubungannya dengan peningkatan resiko sel kanker rahim, bahkan tidak akan
pernah berkembang layaknya kanker.
Gimana? Hehe, kalau ada yang mau ngasih saran atau kritikan tentang cerpenku ini. Sila komen ya...
Salam Syammir!